Thursday, January 11, 2007

Ciliwung


Matahari Jakarta masihlah menyengat ketika kami mulai menurunkan perahu karet ke sungai Ciliwung di bawah jembatan TB Simatupang. Pantas saja, di arloji ku masih menunjukkan pukul 2 siang lebih sedikit. Muka air Ciliwung nampak rendah, anak-anak yang sedang asyik mandi pun dapat dengan tenang melangkah menyeberanginya. Dengan perlahan kami mulai mendayung menyusuri sungai yang membelah Jakarta ini.

Ternyata, Ciliwung masih menjadi tempat favorit untuk masyarakat sekitarnya untuk mencari ikan baik mempergunakan kail maupun dengan jala dan untuk anak-anak mandi. Namun, juga menjadi tempat favorit pula bagi masyarakat yang tinggal dibantaran sungai sebagai tempat mebuang limbah mereka. Sepanjang sungai yang kami arungi, puluhan pipa dan saluran pembuangan mengarah ke sungai, mengalirkan air-air bekas mencuci, mandi dan membuat tahu tempe langsung ke tubuh sang Ciliwung. Tidak hanya itu saja, sepanjang mata memandang selama perjalanan tiada satu titik pun yang bersih dari sampah.

Sampah-sampah domestik, mulai yang berukuran kecil seperti kantung plastik sampai yang berukuran besar seperti sofa terhampar di kanan dan kiri sungai. Lebih miris ketika melihat gunung sampah di pinggir sungai yang dapat dipastikan ketinggiannya lebih dari 10 m. Lebih parah lagi ternyata ada gunungan-gunungan sampah tersebut merupakan tempat pembuangan sampah akhir ”resmi” milik kelurahan di sepanjang Ciliwung.

Kesinergian semua pihak menjadi kunci dalam menyelamatkan Ciliwung, keseriusan pemerintah daerah dalam mewujudkan kota yang bersih, dukungan pihak swasta dalam menciptakan Ciliwung bersih, kesadaran masyarakat dalam membuang sampah pada tempatnya, kesediaan tempat sampah yang memadai, alternatif pemanfaatan sampah merupakan opsi-opsi yang dapat menyelesaikan masalah. Namun itu semua hanyalah mimpi jika tidak dimulai dari kita sendiri.

Thursday, January 04, 2007

5 jam yang melelahkan

Pukul 10.00 hingga pukul 15.00 merupakan waktu potensial untuk bekerja. Karenanya diantara waktu itulah biasanya ditetapkan sebagai jam kerja normal. Namun, selama kurang lebih 5 jam itu, pada Kamis kemarin seakan terbuang percuma hanya demi menunggu secarik kertas.

Sehari sebelumnya, tepatnya pada Rabu, aku mengirimkan fax surat permintaan ijin masuk kawasan konservasi ke pihak BKSDA DKI Jakarta, dengan harapan sehari setelahnya (kamis) dapat diproses cepat. Sekitar pukul 10 aku datang ke kantor BKSDA dan diberitahukan bahwa surat belum diproses, tidak berapa lama aku disodorkan simaksi yang harus ditandatangani diatas materai Rp. 6000,-, sejauh ini masih menjanjikan untuk cepat selesainya proses perijinan. Sekitar pukul 12-an staff BKSDA sibuk persiapan istirahat dan makan siang. Sampai dititik ini aku menyadari bahwa surat pastilah baru akan selesai setelah jam makan siang. Setelah jam makan siang, yang barangkali selesai jam 1an, proses menunggu masih berlangsung.

Sekitar pukul 2-an datanglah dua orang turis dari Jerman. Ternyata mereka bermaksud melakukan kunjungan ke Muara Angke, dan oleh staff BKSDA mereka diminta untuk mengurus ijin berkunjung. Ternyata tidak berapa lama, mungkin hanya berselang 10 menit dari mereka menyerahkan kartu identitas untuk difotokopi, surat ijin mereka sudah selesai dan segera melenggang dari kantor BKSDA.
Sementara ketika kutanyakan mengenai status surat ijinku, dijawab masih harus mengetik untuk alamat di amplop. Alamakjan……..begini rupanya nasib bumiputera, menjadi kelas dua bagi bangsanya sendiri.

Ijin masuk ke kawasan konservasi, ku rasakan masih diperlukan untuk mendata siapa dan untuk apa masuk ke dalam kawasan konservasi. Akan sangat membantu jika prosedur pembuatannya dibuat sederhana dan cepat. Buktinya contoh pengalaman ku alami kamis kemarin, ternyata bisa kok hanya dengan hitungan menit dapat selesai, atau mungkin saat pengurusan kita harus berwajah bule, rambut kemerahan dan berpenampilan alakadarnya dapat membuat cepat diproses.

Waktu terbuang percuma hanya untuk menunggu keluarnya simaksi ini tidak hanya kemarin saja, aku alami. Sangat disayangkan jika hal ini masih terus terjadi, karena dapat menjadi preseden buruk terhadap kinerja orang pemerintahan yang memang sudah dipandang tidak baik.