Thursday, August 26, 2010

Papua: landskap eropa di garis ekuator

Salah satu mimpi yang selama ini ada akhirnya terwujud. aku bisa pergi ke Papua, tanah yang dulu menjadi angan-angan untuk datang kesana. Pertama menjejakkan kaki di tanah Papua, ketakjuban yang diberikan. Memandang bangunan bandara Sentani di Jayapura dengan latar belakang gugusan pegunungan yang salah satu ujungnya masih diliputi kabut tebal memberikan kesan eksotis tersendiri, yang ternyata kekaguman terhadap tanah Papua tidak surut sampai disitu saja.

Tiba di Wamena membawa kepada peradaban beberapa puluh tahun mundur ke belakang, di sepanjang jalan beraspal masih dijumpai orang dengan bertelanjang bulat hanya berbalut koteka yang melindungi bagian kemaluannya. Di sana-sini orang masih sibuk mengunyah pinang yang sudahs emakin jarang dijumpai di kehidupan masyarakat Jawa, jejak-jejak tertinggal berupa ceceran warna merah muda menandakan mereka masih menikmati suasana mengunyah buah kecil dari bangsa palem tersebut.

Menyusuri jalan lembah baliem yang beraspal bagus dan sepi, hanya satu dua kendaraan yang dijumpai kesejukan angin di ketinggian 1600 mdpl membuat lebih memilih membuka jendela kendaraan dibandingkan hembusan AC. Pemandangan yang diberikan sepanjang perjalanan membuat diri takjub, seperti menikmati perjalanan di gugusan benua eropa dengan susunan pegunungan dan hamparan padang hijaunya. Kala pagi tiba, kabut masih leluasa memasuki kota memberikan kesejukan lebih bagi orang-orang yang sudah berlalulalang.

Dari atas pesawat berbaling-baling yang setiap penumpang sesuka hati memilih tempat duduk, hamparan hijau merata sepanjang mata memandang, pertanda savana yang luas dan hutan yang masih belum terkoyak.